Rabu, 16 Januari 2013

BUTIR HUJAN MASIH SEPERTI BIASA


Hujan sering kali mengantarkan suara perkusi dari dalam kumpalan kelabu.
Hujan juga membawa salam kesumat, membawa darah, pucat, masa, tapi kadang juga membawa  teduh.
Saat debu membasah, kumbang menggigil. Semut mencari leng yang masih kering
Lalu mayat di panggul dalam sebuah kerlingan,  wajah yang malu-malu.
Sebuah pesan pada hujan yang tak pernah tersampaikan.
Hujan hanya basah, dan mayat yang dipanggul dalam mata mengeriput kulitnya.
Hujan hanya lelah harus selalu terjatuh, tapi lelah selalu memberi arti lebih dalam dari tabah dan bahagia.

Surabaya, Januari 2013

Sabtu, 12 Januari 2013

SEBELAS


Kemarin sore, aku masih pulang dan menyapa Satpam perumahan yang biasanya selalu gembira makan mie instan pedas sambil nyanyi-nyanyi.
Sore ini bukan senja yang kemarin,
Bukan bulir dalam seloka rindu.
Sekarang hari hitam yang bernama zenith, hari seorang bertubuh kekar memanggul kayu berbau tanah.
Nisan yang seharusnya berwarna putih meramu dendam dalam petir yang terbahasakan.
Kemarin bukan senja yang sama dengan hari ini.
Bahkan neon tua di ujung jalan tak mau lagi menyapa karena meresa terkhianati.
Lalu pada siapa aku mengadukan diri? Sedang doa tak lagi pernah sempat terbersit untuk kabur lewat sela-sela gigi.
Aku mencium aroma angin penyesalanmu di tengah bau cukrik yang serasa anyelir.
Di bawah semilir kenanga bernapas kenagan.
Sore ini soreku dirajam di atas serpihan palawija.
Sore ini bahkan lebih pekat dari secangkir kopi yang kau minta waktu itu.
Aku pulang lewat depan gang dimana kau memintaku menunggu.
Berdiri di pos Satpam yang melompong.
Kemarin dan sore ini tak ku jumpai lagi Satpam kecil yang suka nyanyi-nyanyi.

Surabaya, Januari 2013

TETES


TETES I

Kita yang buntung, bukannya berdiri pada satu kaki
Kita berdiri pada desir,
Berdiri pada telapak-telapak angin

TETES II

Meramu gelap dalam cawan,
Setetes ngilu menguncup gurat.
Empat kata sudah cukup, untuk bersetubuh dengan mereka yang anyir.

Surabaya, 08 Januari 2013
10.16 am

OTAK


Kupikir waktu telah berhasil
Mengguyur remah masa lalu
Setiap rintik bagaikan ciuman
Setiap embun mengambang sunyi
Lalu batu mengapung dan tenggelam
Jejak sandal melekat pada lumpur
Lumpur mencetak jejak sandal

Surabaya, 18 Desember 2012

MIMPI


Seorang gadis berkerung hijau sedang bercermin.
Cerminnya tua, ukiran kayunya lentik seperti kuku-kuku yang biasa menggaruk tanah basah.
Merah merona.
Bicara soal tanah, gadis itu juga berpakaian coklat tanah yang ranum. Semerbak dalam riuh anyelir.
Dia berjalan seperti orang yang sedang jatuh cinta.
Dilemparkannya lembar-lembar daun jati dengan tulisan kata yang bisu.
Semua orang bicara tentang kata dan bahasa.
Tapi kata-kata di atas daun jati tak punya bahasa.
Dan bahasa masih tak punya kata.
Lalu dia berhenti bercermin. Dia berjalan mudur seperti undur-undur disengat tringgiling yang entah bagaimana datangnya selalu membuat ceruk sedalam jurang di kedalaman.
Sejurus saja dia sudah duduk ditepian kasur yang busanya sudah bergelombang.
Lama dia terdiam. Lalu rintik hujan di luar jendela menamatkan kata yang masih berlari dalam kepala atau mungkin buah dadanya yang sintal.
Dia bangkit dan memanggil taksi dalam lelap tidurnya yang masih berkerudung.

Surabaya,  January 2013

LAKI-LAKI ICE TEA


Aku sedang makan ice cream di teras rumah. Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki berpakaian kaos polo merah hitam berdiri di bawah lampu taman tetangga depan rumah.
Sambil menyeruput klintingan tembakau, sekilas terlihat sangat aristokratik.
Mendadak dia jongkok sambil menggambar benang ruwet di atas tanah yang tabah.
“kenapa ?” tanyaku.
Dia berkata sambil menggumam bahwa seorang gadis tukang cendol telah merebut hatinya.
Ku ambil rokok di sela-sela jarinya,
Ku hirup lalu berlalu.
Lalala lilili tralala trilili,
“ibu, ternyata hati laki-laki seperti ice tea ya?”

Surabaya, 11 January 2013
01.34 am

INI BUKAN SEBUAH GRADASI


Enam empat lima
Enam empat lima
Berhitung mengulang lagi
Tes tuk tes tuk
Berdenting berdetak
Pelangi itu
Aku masih ingat
Itu pelangi yang dulu tujuh warna
Lalu saat aku masuk bangku sama
Hanya tinggal tiga warna
Lalala aku bernyayi tak peduli
Lalala masih tak peduli
Tuk tanpa tek
Pelangi itu melegitimasi dalam orok kebekuan
Mulai terkikis
Symponinya meredup dan mungkin akan mati
seperti katak yang terjerembab
lalu tertabrak...
deeeeeerrrr..... Hilang
seperti anonim – anonim yang noktah merahnya memudar
kini
hanya tinggal tiga warna
putih, kelabu dan merah jambu.
Surabaya, 23 September 2012



YANG TAK ADA PADA HEADLINE


Akhir – akhir ini berbicara tentang ice cream.
Kalau aku ganti dengan jus alpukat bagaimana?
Pikiranku melayang, cairan kental hijau seperti ingus tapi manis. Ah memangnya ada ingus yang manis?
Ok kita kembali ke topik.
Seorang tukang Koran lewat dengan lebih dari lima puluh gulung kertas berita.
Satu gulungan dilemparkan padaku,
SECANGKIR KOPI AROMA ALPUKAT tak pernah ada dalam headline.

Sidoarjo, 11 January 2013