Sabtu, 14 September 2013

MONTASE 2

Bianglala berputar diantara kaki-kaki wanita penjamu liar, dia melihat purnama di batas perdu yang menutupi dadanya, meringis ketika canting-canting sudah di atas awan, dan menyapamu yang sedang meraba apa saja yang lawar.


Sedang di belakang bilik, ada yang mencoba untuk mengerik,, lalu hening,,
mengelamuti abjad merah jambu yang membeku, dan kita masih bersetia pada bilik. Hingga sunyi membasah kau tetap mencangkul membuat sakit menjadi pekik..



Bukankah sudah ku katakan pada angin yang menggantung di kelopak matamu, bahwa malam ini trembesi pun merindu.
Diam diam dia meluruskan sulur, berharap mozaik kaca menggambarkan senyummu diantara manusia manusia yang telanjang.





Jumat, 13 September 2013

LANGGAM ASMARA


Bulan separuh meringkik
Di batas lingkar kepalamu
Menginsyafi langgam nafas
Yang tertatih menuju ruang tamu

Jarum bumi mendesah
Terbius di lilit perutmu
Adakalanya ia sujud
Di serambi dingin dan berdebu

Aku langgut dalam kelam
Menghitung helai batang jati
Di batas malam
Dalam ruang bersawang.

Aku takhlik mengitabi kulit arimu
Bersama punuk tumpul yang membiru
Menjelma retakan
Di guci di sudut kamar itu.


MONTASE


Kita adalah sisa-sisa keikhlasan yang tak terikhlaskan...
maka dari itu jangan
,
berhenti mengecup keningku ketika kita berdiri di ambang batas,
antara hadir dan mengendap.
maka dari itu jangan berhenti mencacah kata untuk terang,
jangan berhenti melumat kisah,
jangan berhenti mencium aroma perdu basah. Karena mungkin saja,
dunia belum bisa mengikhlaskan kita yang akan segara menjadi sisa-sisa
tapi tak akan tersiakan.






Jalan-jalan basah, orang-orang berjalan melayang, dengan tangan di bawah. Lalu mereka memilih tertawa di antara langit dan tanah yang basah.






Mari ku genggam tanganmu, dan di pagi yang terlalu pagi ini, biarkan burung kecil itu bersarang di kedua mata kakimu. Lalu akan kutemani kau mengeja bintang sampai akhirnya kau hafal dimana ilalang menusuk bintang dan bulan...

KAMAJAYA

Kau bulan nggantung di atas kuncup-kuncup kamboja kuning
terbius gemelitik gelora yang menegangkan syaraf sekujur tubuh
tiba waktu dimana kau rengkuh relung sukma
dengan getir-getir kesangsian jiwa tersudut
hanya karena sebuah kata sepakat
 telah terlekat pada sayap kiri hidup
 


pernahkah kau merasakan,
aku bergeming dalam sunyi,
nggliat dan memekik
bak jangkrik kolaps di pekatnya malam,
saat gempuran cumbu mendadak mengiris-iris nurani
 


kau Rama yang membawa Shinta terbang dari sedih
nembus langit sesak
dan ombak mistis pesisir selatan
tak pernah dapat ku tepis aroma teduh dan basah
di balik kamajayamu
 


entah mengapa Ramaku,
hati ku berteriak mlengking setiap kali
jemparingmu mlesat ke nirwana-nirwanaku
yang begitu lembut dalam deburan dingin
bagai tarak sang Shinta menatap wajahnya
bercermin cepu jingga melik Batara Dewa,
langgut jejak kaki menuju air yang asin
 


Kau Ramaku, singgahsana syahdu risauku,
tak perlu berucap karena ku tahu pasti kau mengerti,
daramu ini jatuh terlalu dalam di leng tanpa dasar.
 


dalam padu warna hitam dan putih
telah kutemukan kasihku,
jawaban atas ketakutanku.
Saat kau pacu desir-desir bena alir darahku
 


Kau tahu  dengan pasti kasihku,
mencintaimu sama saja terjang ombak trengginas pantai selatan.
mencintaimu sama saja bunuh diri
njebur dengan rela hati ke kerak neraka duniawi.



 ku tahu kau takkan sanggup jadi Jalantara untukku, kakanda
dan tabah yang merekah di dadaku hanya butuh
sebentuk teguh dalam keasrepan pirena sengsem sumarasana.



 agar jerit yang nggeliat sukma ini
tak menitik jatuh dalam darah tabahku
agar bisa ku buktikan pada keasingan ini,
bahwa kau bukan hanya Rama
tapi kau lelakiku, mlatining sukma.




FEU SACRE

Kami patah entah karena apa
Tulang sudah menjadi abu-abu
Malam merajut ikhtisar bernada sihir
Ramuan merah dan hijau sudah siap di atas meja
 


Kami masih patah entah apa sebabnya
Darah dioleskan pada marie manis
Api menjilat awan yang sedang bergairah
Semut-semut mengerubuti lubang yang menghimpit
 


Kami berteriak di dalam api
Orang-orang mencibir, membelalak penuh haru
Sekarang yang patah menghitam
Yang remuk meng-arang
 


Kami koyak di atas luka bernanah
Hanya daun jatuh, menggores mair
 Lalu sekelompok gagak datang dari tanah pusara
Memberi kami,
Sebuah nisan tanpa nama
 

Rabu, 16 Januari 2013

BUTIR HUJAN MASIH SEPERTI BIASA


Hujan sering kali mengantarkan suara perkusi dari dalam kumpalan kelabu.
Hujan juga membawa salam kesumat, membawa darah, pucat, masa, tapi kadang juga membawa  teduh.
Saat debu membasah, kumbang menggigil. Semut mencari leng yang masih kering
Lalu mayat di panggul dalam sebuah kerlingan,  wajah yang malu-malu.
Sebuah pesan pada hujan yang tak pernah tersampaikan.
Hujan hanya basah, dan mayat yang dipanggul dalam mata mengeriput kulitnya.
Hujan hanya lelah harus selalu terjatuh, tapi lelah selalu memberi arti lebih dalam dari tabah dan bahagia.

Surabaya, Januari 2013

Sabtu, 12 Januari 2013

SEBELAS


Kemarin sore, aku masih pulang dan menyapa Satpam perumahan yang biasanya selalu gembira makan mie instan pedas sambil nyanyi-nyanyi.
Sore ini bukan senja yang kemarin,
Bukan bulir dalam seloka rindu.
Sekarang hari hitam yang bernama zenith, hari seorang bertubuh kekar memanggul kayu berbau tanah.
Nisan yang seharusnya berwarna putih meramu dendam dalam petir yang terbahasakan.
Kemarin bukan senja yang sama dengan hari ini.
Bahkan neon tua di ujung jalan tak mau lagi menyapa karena meresa terkhianati.
Lalu pada siapa aku mengadukan diri? Sedang doa tak lagi pernah sempat terbersit untuk kabur lewat sela-sela gigi.
Aku mencium aroma angin penyesalanmu di tengah bau cukrik yang serasa anyelir.
Di bawah semilir kenanga bernapas kenagan.
Sore ini soreku dirajam di atas serpihan palawija.
Sore ini bahkan lebih pekat dari secangkir kopi yang kau minta waktu itu.
Aku pulang lewat depan gang dimana kau memintaku menunggu.
Berdiri di pos Satpam yang melompong.
Kemarin dan sore ini tak ku jumpai lagi Satpam kecil yang suka nyanyi-nyanyi.

Surabaya, Januari 2013